Sabtu, 18 Oktober 2014

Cerbung SMASH & JKT48 - Di Ujung Pelangi - Part12

judul : Di Ujung Pelangi

genre : romantic - family

cast : Rangga Moela, Jessica Veranda, Pramudina, Dicky Prasetya, Bisma Karisma, Shania Junianatha, Reza Anugrah, Sonya Pandarmawan.


***




Melihat Ve yang mulai jenuh dan belum ingin pulang, Rangga berinisiatif mengajak Ve ke tempat lain. Ia menjalankan motornya menuju pasar malam yang penuh dengan berbagai permainan dan wahana. Ve sempat menolak sesampainya di pasar malam itu karena padat dengan orang-orang.

Untuk mengalihkan perhatian Ve pada orang-orang, Rangga mengajak Ve untuk main permainan lempar kaleng. Kali ini mereka sudah berada didepan sebuah permainan lempar kaleng.

“Kamu lihat aku, ya.” Ucap Rangga melihat Ve masih menekuk wajahnya. Tanpa menungggu jawaban Ve, Rangga mulai melempar bola kasti yang diberikan pria pemilik permainan itu kearah kaleng yang disusun ke atas.
Seketika ekspresi wajah Ve berubah saat bola yang dilempar Rangga tak mengenai sasarannya.


“Kok kamu payah, begitu aja gak kena.” Ucap Ve

“Kamu tenang, ini baru pemanasan, lemparan berikutnya pasti kena.” Untuk kedua kalinya, lemparannya tak tepat juga.

Gereget pada Rangga yang tak kunjung mengenai kaleng-kaleng itu, Ve menyemangati Rangga. Ia berjingkrak-jingkrak kecil sambil bertepuk tangan dan meneriaki nama Rangga. Untuk kesekian kali, akhirnya lemparan Rangga mengenai seluruh kaleng yang bertumpuk itu. Seketika Ve berteriak kegirangan, usahanya menyemangati Rangga tak sia-sia.
Sebagai hadiahnya, Rangga memilih boneka Stitch warna biru berukuran besar.

“Ini.. “ Rangga menyodorkan boneka hadiahnya pada Ve. Ve hanya mengeryitkan alisnya.

“Aku serius. Ini untuk kamu.” Lanjut Rangga yang membuat garis senyuman di bibir Ve.

“Tapi kan kamu yang main, masa hadiahnya buat aku.”

“Kamu pikir aku main boneka? Lagipula aku main ini untuk kamu.” Entah kenapa seketika jantung Ve berdegup kencang saat Rangga bicara seperti itu, hatinya tak karuan, tak bisa jika berhenti tersenyum meski berusaha menutup bibirnya. Ia tak pernah merasakan hal ini sebelumnya.

“Baiklah, terima kasih.” Ve menerima boneka besar itu lalu memeluknya  beberapa saat, sesekali matanya melirik wajah Rangga yang tengah menatapnya lekat sambil tersenyum.

Rangga kehabisan kata-kata untuk menolak ajakan Ve yang menyuruhnya naik bianglala. Ve terus menarik lengan Rangga.

“Ayo, Ga. Ngapain kita disini kalo gak naik itu. Aku belum pernah naik itu” Ucap Ve sambil menunjuk kearah bianglala.

“Aku juga belum.” Ucap Rangga sambil hendak melengos pergi namun lengannya berhasil ditahan Ve.

“Makanya itu kita coba, ya.” Tak bisa menolak lagi, Rangga hanya bisa menuruti keinginan Ve.

“Lihat itu, Ga. Banyak bintangnya.” Ve menggoyang-goyangkan lengan Rangga yang menutup matanya. Ranggapun melepas tangan yang menutup wajahnya lalu beralih menatap langit yang ditunjuk Ve tanpa melihat ke bawah.

Mereka  berdua turun dari bianglala saat mesinnya berhenti, rona  sumringah terlihat dari wajah Ve. Untuk membalas Rangga yang sudah melawan rasa takut demi dirinya, Ve membelikan arumanis untuk Rangga.

Sedang ngobrol sambil bercanda dengan Rangga, tiba-tiba seseorang menabrak Ve. Arumanis yang dipegangnya mengenai baju dan boneka yang sedari tadi dipeluknya.

“Hey, kamu gak lihat ada orang apa? Lihat, bajuku jadi kotor.” Bentak Ve pada orang yang menabraknya itu.

“Maaf, aku gak sengaja. Maaf.” Ucap orang itu penuh sesal.

“Segampang itu kamu minta maaf? Kamu sudah mengotori bajuku, ini mahal tau.” Balas Ve.

“Sudahlah, Ve. Dia sudah minta maaf. Nanti aku bersihkan, ya.” Sergah Rangga.

“Gak bisa, Ga. Baju ini sensitif oleh noda. Kamu gak lihat ini lengket.” Kata Ve.

“Biar aku ganti dengan uang untuk mencucinya di laundry, ya.” Ucap orang itu.

“Apa? Ganti? Aku gak yakin kamu bisa ganti. Baju ini mahal, belinya di Jepang. Dasar kampungan.”

“Ve, gak seharusnya kamu bicara seperti itu. Dia sudah punya niat baik untuk bertanggaung jawab, kenapa kamu gak bisa menghargai itu?” sambar Rangga.

“Gak bisa, aku bilang kan baju ini bahannya sensitif. Ini nodanya lengket, Ga.” Balas Ve.

“Tapi itu bukan alasan sampai kamu harus menghina dia.” orang-orang yang melintas dekat sana sesekali melihat perdebatan antara Ve dan Rangga.

“Ya orang itu memang kampungan.” Ucap Ve dengan raut innocent-nya.

“Cukup, Ve. Kamu sudah keterlaluan. Kamu bilang kamu ingin berubah, meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lamamu juga menjaga bicaramu pada orang lain.” Nada suara Rangga mulai memuncak

“Kamu selalu bilang berubah berubah, kamu pikir aku Sailor Moon?”

“Kamu gak usah bercanda. Aku serius.”

“Aku lebih serius.” Balas Ve.

“Aku capek, kamu memang tidak bisa dinasehati.”

“Oh, itu nasehat? Yang aku tau orang yang memberi nasehat itu nadanya lembut. Sedangkan kamu?” Rangga hanya menggeleng kepala melihat kelakuan Ve, serasa pertama kali bertemu dengannya. Ia pun melengos pergi meninggalkan Ve seolah melupakan hubungan adik-kakak antara mereka.

“Rangga.. Baiklah, kalau kamu ninggalin aku, gak masalah. Aku gak butuh ditemani kamu.” Ve meninggikan suaranya melihat punggung Rangga yang pergi meninggalkannya lalu menghilang di kerumunan orang ramai.

Ve berjalan tak tentu arah, tak punya tujuan, jalan pulang pun ia tak tahu. Ia hanya berkeliling di pasar malam itu sambil memeluk bonekanya. Merasa kakinya terasa pegal, ia mencari bangku untuk diduduki.

Sesekali ia memijat kaki dan betisnya secara berulang. Ve beralih menatap boneka Sticth-nya, membayangkan betapa manisnya Rangga ketika memberikan boneka itu. Sekarang ia sadar dengan ucapannya tadi, lagi-lagi ia mengatakan yang harusnya tidak ia katakan, juga merasa bersalah pada orang yang tak sengaja menabraknya. Dan Rangga.

Ve mengeluarkan sebungkus tissue basah dalam tasnya, menariknya selembar. Diusapnya kepala boneka itu untuk menghilangkan noda gula yang menempel. Setelah selesai, ia mengecup boneka dipangkuannya lalu memeluknya.

“Rangga, aku gak tau jalan pulang. Maafin aku juga, aku reflek bicara seperti itu. Aku kangen kamu..~” Ve tak melanjutkan kata-katanya.

“Eh, kenapa aku ini? Malah bicara sendiri.”

“Aku sudah maafkan kamu kok.” Suara berat yang tak asing itu menyadarkan Ve dari lamunannya. Ia menoleh ke samping, dilihatnya Rangga tersenyum padanya. Ve membalas senyuman Rangga, ia bergeser dari duduknya untuk Rangga.

“Kamu gak jadi pergi?” tanya Ve saat Rangga duduk disampingnya.

“Aku mana tega ninggalin kamu sendirian.” Ve hanya tersenyum.

“Maaf, ya. Gak seharusnya aku bicara gak sopan sama kamu, aku gak bisa jadi adik yang baik.”

“Iya, gak apa-apa. Aku mengerti, merubah kebiasaan buruk memang gak bisa langsung jadi baik, harus pelan-pelan dulu.” Ucap Rangga, Ve hanya tersenyum.

“Kita pulang, ya.” Ajak Rangga, Ve mengangguk.

“Tapi sebentar. Kakiku masih sakit.” Ucap Ve. Rangga melihat kaki Ve, lalu meraih kedua kaki Ve hendak menaruh dipangkuannya. Ve sempat menolak namun Rangga memaksa lalu memberi pijatan lembut ke kaki jenjang Ve, ia hanya tersenyum sambil menatap wajah Rangga.

“Apa masih sakit, adik kecil?” tanya Rangga, Ve menggeleng.
Rangga pun menggenggam tangan Ve, lalu menariknya untuk pulang.

Tak ada yang membuka suara saat diperjalanan, Ve dengan nyamannya memeluk perut Rangga dari belakang, menyenderkan kepalanya di pungung Rangga.

Ve turun dari motor Rangga sesampai di depan rumahnya. Tanpa berkata-kata, Ve mengecup pipi kiri Rangga. Rangga hanya bengong merasakan bibir Ve menempel dipipinya, ia berbalik menatap Ve.

“Terima kasih untuk semuanya.” Ucap Ve malu-malu.

“Iya. Selamat tidur, adik kecil.”

Dengan cepat, Rangga melesatkan motornya pergi dari hadapan Ve.

****

Dengan santai, Rangga melajukan motornya pagi ini menuju kampusnya. Beberapa meter dari hadapannya terlihat mobil Ve bersama supirnya. Rangga pun mengerem motornya.

“Kenapa?” tanya Rangga berhenti disamping Ve, Ve menoleh.

“Gak tau nih, mobilnya mogok. Mana sekarang sudah jam segini.” Ucap Ve.

“Aku kira mobil bagus itu tak bisa mogok.” Seloroh Rangga. Ve hanya berdecak, menurutnya ini bukan saatnya untuk bergurau.

“Nah, Non Ve berangkatnya bareng Mas Rangga saja, kan Non Ve gak mau naik taxi. Lagipula ini  pasti masih lama, non.” Usul Pak Acep. Ve hanya menghela nafas lalu beralih menatap Rangga.

“Apa?” tanya Rangga.

“Tolong antar aku ke sekolah, ya.” Ve menempelkan kedua telapak tangannya hendak memohon.

“Baiklah, ayo naik!”

Tak butuh waktu lama, Rangga dan Ve sudah sampai di depan sekolah saat gerbang sekolah akan di tutup. Sementara Shania dan Sonya terlihat dibalik gerbang menunggu dan meneriaki Ve agar cepat-cepat masuk.

Mata Shania tertuju pada Rangga yang sudah mengantarnya, ia terus memperhatikan kepergian Rangga saat Ve berhasil masuk ke gerbang. Ia mendadak pendiam dan sesekali menatap Ve saat ketiga sahabat itu berjalan menuju kelas.


“Baiklah, ini bahan materi untuk tugas kalian. Silahkan kalian ambil materi yang kalian suka.” Ucap Bu Rika pada murid-muridnya di kelas.

Semua murid pun berbondong-bondong maju ke depan kelas untuk mengambil kertas materi di meja guru.

Shania berjalan hendak kembali ke tempat duduknya setelah mengambil kertas materi sambil sengaja menabrakkan bahunya ke bahu Dina. Seperti biasa, ia tak mau meladeni ulah Shania. Saat Dina akan mengambil tugasnya, Ve menyenggol tugas milik Dina hingga jutuh ke lantai. Ve membungkukkan badan mengambil tugas Dina.

“Eh, maaf. Ini.” Ve menyodorkan kertas tugasnya pada Dina. Bukannya menerima pemberian Ve, Dina malah bengong tak percaya. Ia menatap wajah dan mata Ve yang kali ini memperlihatkan wajah ketulusan, bukan ekspresi jahil seperti yang biasa dilihatnya. Bahkan Ve mengatakan maaf padanya.

**

Teringat kejadian tadi pagi saat Ve diantar Rangga, Shania mendadak pendiam, ia hanya menatap Ve yang tengah bercanda dengan Sonya.

“Ve..” panggil Shania, Ve menoleh dan menghentikan tawanya.

“Kayaknya aku pernah liat orang yang antar kamu sebelumnya, tapi kapan ya?” tanya Shania. Seketika raut wajah Ve berubah.

“Iya, aku juga pernah liat dia jemput Dina, iya gak sih?” tanya Sonya ikut-ikutan menebak.

Dalam diamnya, Shania terus mencoba mengingat-ingat laki-laki yang mengantar Ve tadi pagi. Sesekali ia menatap Ve, pikirannya tertuju pada kejadian di cafe saat mereka hendak makan, ia pernah membuat seorang pelayan menjatuhkan piring-piringnya.

“Aku ingat. Pelayan di restoran itu sama dengan orang yang beberapa kali jemput Dina dan sekarang antar kamu ke sekolah, Ve?” tebakan Shania benar, Ve tak bisa berkata-kata, ia hanya menatap lantai sesekali.

“Kok kamu bisa di antar dia? Kamu ada hubungan apa?” tanya Shania bak seorang wartawan.

“Aku gak ada hubungan apa-apa. Cuma gak sengaja bertemu di jalan, mobilku mogok.” Shania menyipitkan matanya, melirik sinis Ve.

“Tapi kenapa harus dia sih yang antar kamu? Dia kan orang yang pernah kita kerjai.”

“Ya aku cuma mau bersikap baik, harusnya juga bukan aku aja, tapi kita.”

“Aku sadar kalau perbuatan kita selama ini tidak baik.” Lanjut Ve,  Shania mengeryitkan alisnya.

“Perbuatan yang mana? Maksudmu parbuatanku selalu jelek?” Shania mulai meninggikan nada suaranya.

“Ya perbuatan kita yang selalu jahat pada orang lain, yang menyinggung orang lain.”

“Kamu gak sadar apa? Aku bersikap begini gara-gara kamu, kamu yang menyeretku dan Sonya untuk bersikap sepertimu, kamu selalu menyuruhku dan Sonya untuk menghujat orang lain, kamu cermin Sonya dan aku. Apa kamu masih gak sadar?”

“M-maaf.” Lirih Ve.

“Maaf untuk apa? Kamu tak bersalah dan aku menikmatinya, aku juga tak merasa bersalah untuk apapun. Dan itu, dari ajaran kamu.” Ve yang pada dasarnya tak suka dibentak-bentak dan akan selalu melawan jika diperlakukan begitu pun sekarang mendadak pendiam. Sebelumnya, ia sudah membayangkan reaksi Shania sekarang. Ia juga siap mendengar celotehan marah Shania.

“Shan, kamu ngomong apa sih? Sudahlah, gak usah diperpanjang. Kalau Ve mau dekat dengan pelayan itu, ya biar saja.” Ucap Sonya yang memeluk lengan Ve.

“Kamu membela dia, Nya? Dia itu sudah menjilat ludahnya sendiri, munafik.” Ujar Shania pada Sonya.

“Shan,kenapa jadi begini sih, bukan maksudku begitu. Tapi kita coba untuk memulai yang baik-baik.” Ve.

“Ya berarti maksudmu sikapku jelek.” Shania mulai melangkahkan kakinya hendak pergi.

“Kamu mau kemana?” tanya Ve sambil meraih lengan Shania namun ditepisnya.

“Bukan urusanmu. Aku malas pada orang munafik.” Balas Shania.

“Ayo, Nya.” Lanjutnya pada Sonya. Sonya pun mulai berjalan mengikuti Shania, ia bimbang dengan perdebatan dua sahabatnya itu.

Shania benar-benar marah, Ve berulangkali meneriaki namanya namun ia tak menoleh sedikitpun.







bersambung.........
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar