genre : romantic - family
cast : Rangga Moela, Jessica Veranda, Pramudina, Dicky Prasetya, Bisma Karisma, Shania Junianatha, Reza Anugrah, Sonya Pandarmawan.
***
Melihat Ve yang mulai jenuh dan belum ingin pulang, Rangga
berinisiatif mengajak Ve ke tempat lain. Ia menjalankan motornya menuju pasar
malam yang penuh dengan berbagai permainan dan wahana. Ve sempat menolak
sesampainya di pasar malam itu karena padat dengan orang-orang.
Untuk mengalihkan perhatian Ve pada orang-orang, Rangga
mengajak Ve untuk main permainan lempar kaleng. Kali ini mereka sudah berada
didepan sebuah permainan lempar kaleng.
“Kamu lihat aku, ya.” Ucap Rangga melihat Ve masih menekuk
wajahnya. Tanpa menungggu jawaban Ve, Rangga mulai melempar bola kasti yang
diberikan pria pemilik permainan itu kearah kaleng yang disusun ke atas.
Seketika ekspresi wajah Ve berubah saat bola yang dilempar
Rangga tak mengenai sasarannya.
“Kok kamu payah, begitu aja gak kena.” Ucap Ve
“Kamu tenang, ini baru pemanasan, lemparan berikutnya pasti
kena.” Untuk kedua kalinya, lemparannya tak tepat juga.
Gereget pada Rangga yang tak kunjung mengenai kaleng-kaleng
itu, Ve menyemangati Rangga. Ia berjingkrak-jingkrak kecil sambil bertepuk
tangan dan meneriaki nama Rangga. Untuk kesekian kali, akhirnya lemparan Rangga
mengenai seluruh kaleng yang bertumpuk itu. Seketika Ve berteriak kegirangan,
usahanya menyemangati Rangga tak sia-sia.
Sebagai hadiahnya, Rangga memilih boneka Stitch warna biru
berukuran besar.
“Ini.. “ Rangga menyodorkan boneka hadiahnya pada Ve. Ve
hanya mengeryitkan alisnya.
“Aku serius. Ini untuk kamu.” Lanjut Rangga yang membuat
garis senyuman di bibir Ve.
“Tapi kan kamu yang main, masa hadiahnya buat aku.”
“Kamu pikir aku main boneka? Lagipula aku main ini untuk
kamu.” Entah kenapa seketika jantung Ve berdegup kencang saat Rangga bicara
seperti itu, hatinya tak karuan, tak bisa jika berhenti tersenyum meski
berusaha menutup bibirnya. Ia tak pernah merasakan hal ini sebelumnya.
“Baiklah, terima kasih.” Ve menerima boneka besar itu lalu
memeluknya beberapa saat, sesekali
matanya melirik wajah Rangga yang tengah menatapnya lekat sambil tersenyum.
Rangga kehabisan kata-kata untuk menolak ajakan Ve yang
menyuruhnya naik bianglala. Ve terus menarik lengan Rangga.
“Ayo, Ga. Ngapain kita disini kalo gak naik itu. Aku belum
pernah naik itu” Ucap Ve sambil menunjuk kearah bianglala.
“Aku juga belum.” Ucap Rangga sambil hendak melengos pergi
namun lengannya berhasil ditahan Ve.
“Makanya itu kita coba, ya.” Tak bisa menolak lagi, Rangga
hanya bisa menuruti keinginan Ve.
“Lihat itu, Ga. Banyak bintangnya.” Ve menggoyang-goyangkan
lengan Rangga yang menutup matanya. Ranggapun melepas tangan yang menutup
wajahnya lalu beralih menatap langit yang ditunjuk Ve tanpa melihat ke bawah.
Mereka berdua turun
dari bianglala saat mesinnya berhenti, rona
sumringah terlihat dari wajah Ve. Untuk membalas Rangga yang sudah melawan
rasa takut demi dirinya, Ve membelikan arumanis untuk Rangga.
Sedang ngobrol sambil bercanda dengan Rangga, tiba-tiba
seseorang menabrak Ve. Arumanis yang dipegangnya mengenai baju dan boneka yang
sedari tadi dipeluknya.
“Hey, kamu gak lihat ada orang apa? Lihat, bajuku jadi
kotor.” Bentak Ve pada orang yang menabraknya itu.
“Maaf, aku gak sengaja. Maaf.” Ucap orang itu penuh sesal.
“Segampang itu kamu minta maaf? Kamu sudah mengotori bajuku,
ini mahal tau.” Balas Ve.
“Sudahlah, Ve. Dia sudah minta maaf. Nanti aku bersihkan,
ya.” Sergah Rangga.
“Gak bisa, Ga. Baju ini sensitif oleh noda. Kamu gak lihat
ini lengket.” Kata Ve.
“Biar aku ganti dengan uang untuk mencucinya di laundry,
ya.” Ucap orang itu.
“Apa? Ganti? Aku gak yakin kamu bisa ganti. Baju ini mahal,
belinya di Jepang. Dasar kampungan.”
“Ve, gak seharusnya kamu bicara seperti itu. Dia sudah punya
niat baik untuk bertanggaung jawab, kenapa kamu gak bisa menghargai itu?”
sambar Rangga.
“Gak bisa, aku bilang kan baju ini bahannya sensitif. Ini
nodanya lengket, Ga.” Balas Ve.
“Tapi itu bukan alasan sampai kamu harus menghina dia.” orang-orang
yang melintas dekat sana sesekali melihat perdebatan antara Ve dan Rangga.
“Ya orang itu memang kampungan.” Ucap Ve dengan raut
innocent-nya.
“Cukup, Ve. Kamu sudah keterlaluan. Kamu bilang kamu ingin
berubah, meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lamamu juga menjaga bicaramu pada
orang lain.” Nada suara Rangga mulai memuncak
“Kamu selalu bilang berubah berubah, kamu pikir aku Sailor
Moon?”
“Kamu gak usah bercanda. Aku serius.”
“Aku lebih serius.” Balas Ve.
“Aku capek, kamu memang tidak bisa dinasehati.”
“Oh, itu nasehat? Yang aku tau orang yang memberi nasehat
itu nadanya lembut. Sedangkan kamu?” Rangga hanya menggeleng kepala melihat
kelakuan Ve, serasa pertama kali bertemu dengannya. Ia pun melengos pergi
meninggalkan Ve seolah melupakan hubungan adik-kakak antara mereka.
“Rangga.. Baiklah, kalau kamu ninggalin aku, gak masalah.
Aku gak butuh ditemani kamu.” Ve meninggikan suaranya melihat punggung Rangga
yang pergi meninggalkannya lalu menghilang di kerumunan orang ramai.
Ve berjalan tak tentu arah, tak punya tujuan, jalan pulang
pun ia tak tahu. Ia hanya berkeliling di pasar malam itu sambil memeluk
bonekanya. Merasa kakinya terasa pegal, ia mencari bangku untuk diduduki.
Sesekali ia memijat kaki dan betisnya secara berulang. Ve
beralih menatap boneka Sticth-nya, membayangkan betapa manisnya Rangga ketika
memberikan boneka itu. Sekarang ia sadar dengan ucapannya tadi, lagi-lagi ia
mengatakan yang harusnya tidak ia katakan, juga merasa bersalah pada orang yang
tak sengaja menabraknya. Dan Rangga.
Ve mengeluarkan sebungkus tissue basah dalam tasnya, menariknya
selembar. Diusapnya kepala boneka itu untuk menghilangkan noda gula yang
menempel. Setelah selesai, ia mengecup boneka dipangkuannya lalu memeluknya.
“Rangga, aku gak tau jalan pulang. Maafin aku juga, aku
reflek bicara seperti itu. Aku kangen kamu..~” Ve tak melanjutkan kata-katanya.
“Eh, kenapa aku ini? Malah bicara sendiri.”
“Aku sudah maafkan kamu kok.” Suara berat yang tak asing itu
menyadarkan Ve dari lamunannya. Ia menoleh ke samping, dilihatnya Rangga
tersenyum padanya. Ve membalas senyuman Rangga, ia bergeser dari duduknya untuk
Rangga.
“Kamu gak jadi pergi?” tanya Ve saat Rangga duduk
disampingnya.
“Aku mana tega ninggalin kamu sendirian.” Ve hanya
tersenyum.
“Maaf, ya. Gak seharusnya aku bicara gak sopan sama kamu,
aku gak bisa jadi adik yang baik.”
“Iya, gak apa-apa. Aku mengerti, merubah kebiasaan buruk
memang gak bisa langsung jadi baik, harus pelan-pelan dulu.” Ucap Rangga, Ve
hanya tersenyum.
“Kita pulang, ya.” Ajak Rangga, Ve mengangguk.
“Tapi sebentar. Kakiku masih sakit.” Ucap Ve. Rangga melihat
kaki Ve, lalu meraih kedua kaki Ve hendak menaruh dipangkuannya. Ve sempat
menolak namun Rangga memaksa lalu memberi pijatan lembut ke kaki jenjang Ve, ia
hanya tersenyum sambil menatap wajah Rangga.
“Apa masih sakit, adik kecil?” tanya Rangga, Ve menggeleng.
Rangga pun menggenggam tangan Ve, lalu menariknya untuk
pulang.
Tak ada yang membuka suara saat diperjalanan, Ve dengan
nyamannya memeluk perut Rangga dari belakang, menyenderkan kepalanya di pungung
Rangga.
Ve turun dari motor Rangga sesampai di depan rumahnya. Tanpa
berkata-kata, Ve mengecup pipi kiri Rangga. Rangga hanya bengong merasakan
bibir Ve menempel dipipinya, ia berbalik menatap Ve.
“Terima kasih untuk semuanya.” Ucap Ve malu-malu.
“Iya. Selamat tidur, adik kecil.”
Dengan cepat, Rangga melesatkan motornya pergi dari hadapan
Ve.
****
Dengan santai, Rangga melajukan motornya pagi ini menuju
kampusnya. Beberapa meter dari hadapannya terlihat mobil Ve bersama supirnya.
Rangga pun mengerem motornya.
“Kenapa?” tanya Rangga berhenti disamping Ve, Ve menoleh.
“Gak tau nih, mobilnya mogok. Mana sekarang sudah jam
segini.” Ucap Ve.
“Aku kira mobil bagus itu tak bisa mogok.” Seloroh Rangga.
Ve hanya berdecak, menurutnya ini bukan saatnya untuk bergurau.
“Nah, Non Ve berangkatnya bareng Mas Rangga saja, kan Non Ve
gak mau naik taxi. Lagipula ini pasti
masih lama, non.” Usul Pak Acep. Ve hanya menghela nafas lalu beralih menatap
Rangga.
“Apa?” tanya Rangga.
“Tolong antar aku ke sekolah, ya.” Ve menempelkan kedua
telapak tangannya hendak memohon.
“Baiklah, ayo naik!”
Tak butuh waktu lama, Rangga dan Ve sudah sampai di depan
sekolah saat gerbang sekolah akan di tutup. Sementara Shania dan Sonya terlihat
dibalik gerbang menunggu dan meneriaki Ve agar cepat-cepat masuk.
Mata Shania tertuju pada Rangga yang sudah mengantarnya, ia
terus memperhatikan kepergian Rangga saat Ve berhasil masuk ke gerbang. Ia
mendadak pendiam dan sesekali menatap Ve saat ketiga sahabat itu berjalan
menuju kelas.
“Baiklah, ini bahan materi untuk tugas kalian. Silahkan kalian
ambil materi yang kalian suka.” Ucap Bu Rika pada murid-muridnya di kelas.
Semua murid pun berbondong-bondong maju ke depan kelas untuk
mengambil kertas materi di meja guru.
Shania berjalan hendak kembali ke tempat duduknya setelah
mengambil kertas materi sambil sengaja menabrakkan bahunya ke bahu Dina.
Seperti biasa, ia tak mau meladeni ulah Shania. Saat Dina akan mengambil
tugasnya, Ve menyenggol tugas milik Dina hingga jutuh ke lantai. Ve membungkukkan
badan mengambil tugas Dina.
“Eh, maaf. Ini.” Ve menyodorkan kertas tugasnya pada Dina.
Bukannya menerima pemberian Ve, Dina malah bengong tak percaya. Ia menatap
wajah dan mata Ve yang kali ini memperlihatkan wajah ketulusan, bukan ekspresi
jahil seperti yang biasa dilihatnya. Bahkan Ve mengatakan maaf padanya.
**
Teringat kejadian tadi pagi saat Ve diantar Rangga, Shania
mendadak pendiam, ia hanya menatap Ve yang tengah bercanda dengan Sonya.
“Ve..” panggil Shania, Ve menoleh dan menghentikan tawanya.
“Kayaknya aku pernah liat orang yang antar kamu sebelumnya,
tapi kapan ya?” tanya Shania. Seketika raut wajah Ve berubah.
“Iya, aku juga pernah liat dia jemput Dina, iya gak sih?”
tanya Sonya ikut-ikutan menebak.
Dalam diamnya, Shania terus mencoba mengingat-ingat
laki-laki yang mengantar Ve tadi pagi. Sesekali ia menatap Ve, pikirannya
tertuju pada kejadian di cafe saat mereka hendak makan, ia pernah membuat
seorang pelayan menjatuhkan piring-piringnya.
“Aku ingat. Pelayan di restoran itu sama dengan orang yang
beberapa kali jemput Dina dan sekarang antar kamu ke sekolah, Ve?” tebakan
Shania benar, Ve tak bisa berkata-kata, ia hanya menatap lantai sesekali.
“Kok kamu bisa di antar dia? Kamu ada hubungan apa?” tanya
Shania bak seorang wartawan.
“Aku gak ada hubungan apa-apa. Cuma gak sengaja bertemu di
jalan, mobilku mogok.” Shania menyipitkan matanya, melirik sinis Ve.
“Tapi kenapa harus dia sih yang antar kamu? Dia kan orang
yang pernah kita kerjai.”
“Ya aku cuma mau bersikap baik, harusnya juga bukan aku aja,
tapi kita.”
“Aku sadar kalau perbuatan kita selama ini tidak baik.”
Lanjut Ve, Shania mengeryitkan alisnya.
“Perbuatan yang mana? Maksudmu parbuatanku selalu jelek?”
Shania mulai meninggikan nada suaranya.
“Ya perbuatan kita yang selalu jahat pada orang lain, yang
menyinggung orang lain.”
“Kamu gak sadar apa? Aku bersikap begini gara-gara kamu,
kamu yang menyeretku dan Sonya untuk bersikap sepertimu, kamu selalu menyuruhku
dan Sonya untuk menghujat orang lain, kamu cermin Sonya dan aku. Apa kamu masih
gak sadar?”
“M-maaf.” Lirih Ve.
“Maaf untuk apa? Kamu tak bersalah dan aku menikmatinya, aku
juga tak merasa bersalah untuk apapun. Dan itu, dari ajaran kamu.” Ve yang pada
dasarnya tak suka dibentak-bentak dan akan selalu melawan jika diperlakukan
begitu pun sekarang mendadak pendiam. Sebelumnya, ia sudah membayangkan reaksi
Shania sekarang. Ia juga siap mendengar celotehan marah Shania.
“Shan, kamu ngomong apa sih? Sudahlah, gak usah
diperpanjang. Kalau Ve mau dekat dengan pelayan itu, ya biar saja.” Ucap Sonya
yang memeluk lengan Ve.
“Kamu membela dia, Nya? Dia itu sudah menjilat ludahnya
sendiri, munafik.” Ujar Shania pada Sonya.
“Shan,kenapa jadi begini sih, bukan maksudku begitu. Tapi
kita coba untuk memulai yang baik-baik.” Ve.
“Ya berarti maksudmu sikapku jelek.” Shania mulai melangkahkan
kakinya hendak pergi.
“Kamu mau kemana?” tanya Ve sambil meraih lengan Shania
namun ditepisnya.
“Bukan urusanmu. Aku malas pada orang munafik.” Balas
Shania.
“Ayo, Nya.” Lanjutnya pada Sonya. Sonya pun mulai berjalan
mengikuti Shania, ia bimbang dengan perdebatan dua sahabatnya itu.
Shania benar-benar marah, Ve berulangkali meneriaki namanya
namun ia tak menoleh sedikitpun.
bersambung.........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar