Jumat, 05 Desember 2014

Cerpen SMASH & JKT48 - Cinta Kotak-kotak

Tittle : Cinta Kotak-kotak

cast : Rangga Moela & Shania Junianatha

author & created by : Fauziya Fitri

inspired by JKT48's song

****



AC  yang ada di ruang kelas kini mulai terasa dinginnya, mungkin karena menghadapi kuis yang menegangkan ini baru saja rampung. Teman-teman berhamburan keluar setelah pak dosen keluar dari kelas.



Aku berjalan menyusuri lorong kampus hendak pulang. Saat tak sengaja menoleh kearah halaman kampus, ku melihat Rangga di bawah pohon kelapa yang tak terlalu tinggi tengah duduk bersila diatas rumput hijau. Akupun memutuskan untuk menghampirinya. Ekspresinya semakin terlihat saatku semakin mendekat kearahnya. Wajahnya seperti bingung, sesekali menggaruk kasar kepalanya kala melihat kertas yang dipegangnya.



“Hai.” Rangga tak menjawab sapaanku, ia hanya mendongakkan kepalanya sejenak melihatku yang tengah berdiri lalu kembali fokus pada kertas dan buku dipangkuannya.



Aku berjongkok menyamakan tinggiku dengan Rangga. “Keliatannya serius banget, lagi ngapain sih?” tanyaku.



“Ya, gitu.” Sahutnya singkat tanpa menoleh ke wajahku.



“Gitu apa?” tanyaku lagi, tak puas dengan jawaban singkatnya. Aku merebut kertas ditangan Rangga, gemas juga padanya yang acuh dengan keberadaanku.



Aku mengamati tulisan dikertas itu, tak menghiraukan wajah Rangga yang sepertinya kesal karena kertasnya ku rebut.



“Oh, bilang dong kalo loe lagi ngerjain tugas.”



“Ngapain? Kayak loe bisa bantu aja.”



“Eh, loe suka ngeremehin gue. Padahal udah berapa kali tuh gue bantuin loe, ujung-ujungnya loe berterimakasih juga sama gue.” Ucapku tak terima. Rangga mulai melonggarkan alisnya yang mengkerut, ia juga terlihat menahan senyumnya mungkin mengingat akan kebenaran kata-kataku.



“Sini gue bantuin.” Dengan telaten, aku membantu mengerjakan tugas dari dosennya, membolak-balik buku-buku yang Rangga pinjam dari perpustakaan.

Tak sampai dua jam, Rangga sudah menyelesaikan tugasnya yang di bantu olehku.



“Thank’s, ya.” Ucap Rangga sembari memasukan sejumlah buku kedalam tas gendongnya.



“Mau pulang bareng gak? Tapi hari ini gue bawa sepeda, biar lebih sehat aja gitu.” Ajaknya.



“Ayo. Gak masalah.” Ucapku mantap. Rangga berjalan beberapa langkah lalu meraih sepeda yang diparkirkannya, ia menoleh kearahku sambil menggerakkan kepalanya bermaksud menyuruhku untuk naik di boncengan sepeda.



Saat Rangga mengayuh sepeda, dibelakang aku berpegangan pada pundaknya sambil merasakan hembusan angin yang lewat. Tanpa berkata apa-apa, Rangga tiba-tiba menghentikan sepeda. Kepalanya nampak menunduk melihat roda sepeda.



 “Kenapa, Ga?” tanyaku sembari turun dari sepeda diikuti Rangga.



“Tuh, bannya bocor. Badan loe gendut sih, sepeda gue gak kuat kan jadinya.” Selorohnya.



“Enak aja, kurus gini. Loe tuh keberatan pipi.” Balasku tak terima. Rangga tak menjawab perkataanku, ia hanya mencubit gemas hidungku.



“Yaudah, kita jalan aja.” Rangga mulai sambil memegang kedua stang hendak mendorong sepeda tanpa menunggu jawabanku. Dengan sedikit kesal, aku menyusul Rangga, berjalan disebelah Rangga menyamakan langkahnya.



“Eh, Ga. Kalo sepedahan gini, gue jadi inget masa kecil kita deh.” Ucapku tiba-tiba mengingat masa kecilku. Sambil mendorong sepeda, Rangga hanya melirikku yang tengah senyum-senyum sendiri.



“Dulu kan yang ngajarin gue naik sepeda loe, ya?” ucapku lagi.



“Tapi pas gue mulai lancar ngayuhnya, loe dorong gue dari belakang sampe nyungsep ke semak-semak, untung guenya gak apa-apa.” Aku merubah ekspresi wajahku yang tadinya senyum jadi sebal meski memang sekarang Rangga tak terlalu jahil, mungkin seiring dengan ia semakin dewasa.



Rangga tertawa mendengar celotehanku.“Tapi loe gak berdarah-darah kan?” tanyanya.



“Ya enggak sih, Cuma shock. Tapi tetep aja gue takut kenapa-kenapa.” Sahutku.



“Heh, kalo jailin loe, gue juga milih-milih kali. Jailin bukan berarti celakain. Emang gue pernah isengin loe sampe luka?” tuturnya, aku memutar bola mataku hendak berfikir jawaban dari pertanyaan Rangga.



“Enggak sih, tapi kalo sampe nangis sering.”



“Yee, itu sih loe aja yang cengeng.” Balas Rangga, dengan polosnya ia tertawa lepas. Aku hanya mengembungkan pipiku dengan sempurna, kesal karena ia sering meledekku.



“Loe cape gak? Gue sih cape’, mau duduk disitu.” Tanpa menunggu jawabanku, lagi-lagi Rangga berjalan menuju bangku panjang yang terbuat dari batu bata dekat pohon lebat.



Rangga mengganjal sepedanya dengan standart lalu mulai duduk.



“Loe emang nyebelin ya. Nanya gue cape apa enggak, kirain mau ngajak gue duduk.”



“Loe kan punya pikiran, gak gue ajak loe juga pasti bakal nyamperin bangkunya.” Ucapnya dengan nada cuek. Selalu begitu, mungkin aku jangan terlalu berharap akan diperhatikan dia, karena dia pasti tak akan peka.



Dengan sedikit kesal, aku melangkahkan kaki menuju pembatas jalan dengan pantai, menghadap pantai .



“Loe dari dulu gak berubah ya, gak asik. Gitu aja manyun.” Ucap Rangga seolah tau pikiranku sambil menghampiriku.



“Enggak kok, biasa aja.” Ucapku ngeles, tapi sepertinya Rangga tak percaya begitu saja. Ia memiringkan kepalanya didepan wajahku bermaksud mengamati wajahku.



“Eh, loe ngapain sih? Macem-macem ya?” Tanyaku ketus sambil mendorong wajahnya.



  “Ge-er loe. Gue Cuma mau mastiin kalo loe gak bo’ong.”



Aku mendengus kesal dan hanya menatap air laut didepanku. Warna biru yang terkena sinar matahari seolah memantulkan cahayanya menjadikan air itu berkilauan. Perlahan aku melirik Rangga yang tengah berdiri disampingku sambil menatap laut juga. Sinar berkilauan di air itu memantul juga ke wajah Rangga, menjadikan ia nampak bersinar, apalagi dengan baju lengan pendek yang ia pakai,  kulitnya yang putih terlihat sangat keren.



“Woy.. Kenapa loe liatin gue kayak gitu?” Rangga menepuk kedua tangannya didepan wajahku membuatku sedikit tercekat.



“Eng-enggak apa-apa. Tau-tau gue inget masa kecil kita aja.” Ucapku asal, bingung menjawab pertanyaannya.



“Loe masih bahas itu lagi aja.”



“Abisnya gue kangen masa-masa itu sih. Suka inget keisengan loe dulu, tapi giliran ada PR larinya ke gue.” Kenangku.



“Ya lagian, kenapa juga loe mau bantuin gue ngerjain PR padahal gue udah ngejailin loe.” Jawaban Rangga yang sulit untuk ku sanggah, karena aku juga tak tahu mengapa begitu, mungkin karena aku menyukainya jadi ku tak bisa menolaknya.



“Heh. Malah ngelamun lagi.” Rangga membuyarkan lamunanku.



Aku tersenyum. “Gue kangen masa kecil kita.” ucapku lagi. Rangga tersenyum dengan memincingkan satu sudut bibirnya sambil menggeleng kepala.



“Emang apa sih yang loe kangenin? Kangen gue usilin?” tanya Rangga.



“Emm, ya itu salah satunya.” Jawabku lalu menatap laut lagi.



Aku tercekat ketika tiba-tiba Rangga mendekapku dari samping. “Loe kangen gue yang jail kan? Nih..” Sambil tersenyum jahil, ia mengayunkan tangannya yang sedang memelukku hendak menceburkan ku ke laut namun menariknya kembali, sampai ku berteriak minta ampun. Ia melakukan itu berulang kali.



 Berteman dengannya sejak kecil, membuatku pernah berfikir untuk mengungkapkan perasaanku padanya.



Perasaan yang lama ku pendam ini sangat sulit untuk untuk kunyatakan, padahal kata ‘menyukaimu’ adalah satu kata yang sangat sederhana namun tidak dapat aku ucapkan pada Rangga. Tapi mungkin ini jalanku dengannya, menjadi sahabat selamanya. Aku takut jika menjadi pacarnya atau ada perasaan diantara kita justru membuat sikap kita saling berbeda. Dengan hubungan ini saja asalkan ia selalu di dekatku, aku sudah merasa bahagia.










-END-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar