cast : Rangga Moela & Shania Junianatha
author & created by : Fauziya Fitri
inspired by JKT48's song
****
AC yang ada di ruang kelas kini mulai terasa
dinginnya, mungkin karena menghadapi kuis yang menegangkan ini baru saja
rampung. Teman-teman berhamburan keluar setelah pak dosen keluar dari kelas.
Aku berjalan menyusuri lorong
kampus hendak pulang. Saat tak sengaja menoleh kearah halaman kampus, ku
melihat Rangga di bawah pohon kelapa yang tak terlalu tinggi tengah duduk
bersila diatas rumput hijau. Akupun memutuskan untuk menghampirinya.
Ekspresinya semakin terlihat saatku semakin mendekat kearahnya. Wajahnya
seperti bingung, sesekali menggaruk kasar kepalanya kala melihat kertas yang
dipegangnya.
“Hai.” Rangga tak menjawab
sapaanku, ia hanya mendongakkan kepalanya sejenak melihatku yang tengah berdiri
lalu kembali fokus pada kertas dan buku dipangkuannya.
Aku berjongkok menyamakan
tinggiku dengan Rangga. “Keliatannya serius banget, lagi ngapain sih?” tanyaku.
“Ya, gitu.” Sahutnya singkat
tanpa menoleh ke wajahku.
“Gitu apa?” tanyaku lagi, tak
puas dengan jawaban singkatnya. Aku merebut kertas ditangan Rangga, gemas juga
padanya yang acuh dengan keberadaanku.
Aku mengamati tulisan dikertas
itu, tak menghiraukan wajah Rangga yang sepertinya kesal karena kertasnya ku
rebut.
“Oh, bilang dong kalo loe lagi
ngerjain tugas.”
“Eh, loe suka ngeremehin gue.
Padahal udah berapa kali tuh gue bantuin loe, ujung-ujungnya loe berterimakasih
juga sama gue.” Ucapku tak terima. Rangga mulai melonggarkan alisnya yang
mengkerut, ia juga terlihat menahan senyumnya mungkin mengingat akan kebenaran
kata-kataku.
“Sini gue bantuin.” Dengan
telaten, aku membantu mengerjakan tugas dari dosennya, membolak-balik buku-buku
yang Rangga pinjam dari perpustakaan.
Tak sampai dua jam, Rangga sudah menyelesaikan tugasnya yang
di bantu olehku.
“Thank’s, ya.” Ucap Rangga
sembari memasukan sejumlah buku kedalam tas gendongnya.
“Mau pulang bareng gak? Tapi hari
ini gue bawa sepeda, biar lebih sehat aja gitu.” Ajaknya.
“Ayo. Gak masalah.” Ucapku
mantap. Rangga berjalan beberapa langkah lalu meraih sepeda yang
diparkirkannya, ia menoleh kearahku sambil menggerakkan kepalanya bermaksud
menyuruhku untuk naik di boncengan sepeda.
Saat Rangga mengayuh sepeda,
dibelakang aku berpegangan pada pundaknya sambil merasakan hembusan angin yang
lewat. Tanpa berkata apa-apa, Rangga tiba-tiba menghentikan sepeda. Kepalanya
nampak menunduk melihat roda sepeda.
“Kenapa, Ga?” tanyaku sembari turun dari
sepeda diikuti Rangga.
“Tuh, bannya bocor. Badan loe
gendut sih, sepeda gue gak kuat kan jadinya.” Selorohnya.
“Enak aja, kurus gini. Loe tuh
keberatan pipi.” Balasku tak terima. Rangga tak menjawab perkataanku, ia hanya
mencubit gemas hidungku.
“Yaudah, kita jalan aja.” Rangga
mulai sambil memegang kedua stang hendak mendorong sepeda tanpa menunggu
jawabanku. Dengan sedikit kesal, aku menyusul Rangga, berjalan disebelah Rangga
menyamakan langkahnya.
“Eh, Ga. Kalo sepedahan gini, gue
jadi inget masa kecil kita deh.” Ucapku tiba-tiba mengingat masa kecilku.
Sambil mendorong sepeda, Rangga hanya melirikku yang tengah senyum-senyum
sendiri.
“Dulu kan yang ngajarin gue naik
sepeda loe, ya?” ucapku lagi.
“Tapi pas gue mulai lancar
ngayuhnya, loe dorong gue dari belakang sampe nyungsep ke semak-semak, untung
guenya gak apa-apa.” Aku merubah ekspresi wajahku yang tadinya senyum jadi
sebal meski memang sekarang Rangga tak terlalu jahil, mungkin seiring dengan ia
semakin dewasa.
Rangga tertawa mendengar
celotehanku.“Tapi loe gak berdarah-darah kan?” tanyanya.
“Ya enggak sih, Cuma shock. Tapi
tetep aja gue takut kenapa-kenapa.” Sahutku.
“Heh, kalo jailin loe, gue juga
milih-milih kali. Jailin bukan berarti celakain. Emang gue pernah isengin loe
sampe luka?” tuturnya, aku memutar bola mataku hendak berfikir jawaban dari
pertanyaan Rangga.
“Enggak sih, tapi kalo sampe
nangis sering.”
“Yee, itu sih loe aja yang
cengeng.” Balas Rangga, dengan polosnya ia tertawa lepas. Aku hanya
mengembungkan pipiku dengan sempurna, kesal karena ia sering meledekku.
“Loe cape gak? Gue sih cape’, mau
duduk disitu.” Tanpa menunggu jawabanku, lagi-lagi Rangga berjalan menuju
bangku panjang yang terbuat dari batu bata dekat pohon lebat.
Rangga mengganjal sepedanya
dengan standart lalu mulai duduk.
“Loe emang nyebelin ya. Nanya gue
cape apa enggak, kirain mau ngajak gue duduk.”
“Loe kan punya pikiran, gak gue
ajak loe juga pasti bakal nyamperin bangkunya.” Ucapnya dengan nada cuek.
Selalu begitu, mungkin aku jangan terlalu berharap akan diperhatikan dia, karena
dia pasti tak akan peka.
Dengan sedikit kesal, aku
melangkahkan kaki menuju pembatas jalan dengan pantai, menghadap pantai .
“Loe dari dulu gak berubah ya,
gak asik. Gitu aja manyun.” Ucap Rangga seolah tau pikiranku sambil
menghampiriku.
“Enggak kok, biasa aja.” Ucapku
ngeles, tapi sepertinya Rangga tak percaya begitu saja. Ia memiringkan
kepalanya didepan wajahku bermaksud mengamati wajahku.
“Eh, loe ngapain sih? Macem-macem
ya?” Tanyaku ketus sambil mendorong wajahnya.
“Ge-er loe. Gue Cuma mau mastiin kalo loe gak bo’ong.”
Aku mendengus kesal dan hanya
menatap air laut didepanku. Warna biru yang terkena sinar matahari seolah
memantulkan cahayanya menjadikan air itu berkilauan. Perlahan aku melirik
Rangga yang tengah berdiri disampingku sambil menatap laut juga. Sinar
berkilauan di air itu memantul juga ke wajah Rangga, menjadikan ia nampak
bersinar, apalagi dengan baju lengan pendek yang ia pakai, kulitnya yang putih terlihat sangat keren.
“Woy.. Kenapa loe liatin gue
kayak gitu?” Rangga menepuk kedua tangannya didepan wajahku membuatku sedikit
tercekat.
“Eng-enggak apa-apa. Tau-tau gue
inget masa kecil kita aja.” Ucapku asal, bingung menjawab pertanyaannya.
“Loe masih bahas itu lagi aja.”
“Abisnya gue kangen masa-masa itu
sih. Suka inget keisengan loe dulu, tapi giliran ada PR larinya ke gue.”
Kenangku.
“Ya lagian, kenapa juga loe mau
bantuin gue ngerjain PR padahal gue udah ngejailin loe.” Jawaban Rangga yang
sulit untuk ku sanggah, karena aku juga tak tahu mengapa begitu, mungkin karena
aku menyukainya jadi ku tak bisa menolaknya.
“Heh. Malah ngelamun lagi.”
Rangga membuyarkan lamunanku.
Aku tersenyum. “Gue kangen masa
kecil kita.” ucapku lagi. Rangga tersenyum dengan memincingkan satu sudut
bibirnya sambil menggeleng kepala.
“Emang apa sih yang loe kangenin?
Kangen gue usilin?” tanya Rangga.
“Emm, ya itu salah satunya.”
Jawabku lalu menatap laut lagi.
Aku tercekat ketika tiba-tiba
Rangga mendekapku dari samping. “Loe kangen gue yang jail kan? Nih..” Sambil
tersenyum jahil, ia mengayunkan tangannya yang sedang memelukku hendak
menceburkan ku ke laut namun menariknya kembali, sampai ku berteriak minta ampun.
Ia melakukan itu berulang kali.
Berteman dengannya sejak kecil, membuatku
pernah berfikir untuk mengungkapkan perasaanku padanya.
Perasaan yang lama ku pendam ini
sangat sulit untuk untuk kunyatakan, padahal kata ‘menyukaimu’ adalah satu kata
yang sangat sederhana namun tidak dapat aku ucapkan pada Rangga. Tapi mungkin
ini jalanku dengannya, menjadi sahabat selamanya. Aku takut jika menjadi
pacarnya atau ada perasaan diantara kita justru membuat sikap kita saling
berbeda. Dengan hubungan ini saja asalkan ia selalu di dekatku, aku sudah
merasa bahagia.
-END-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar