Tittle : Aturan Anti
Cinta
Author and Cover by Fauziya Fitri
Genre : friendship, drama, romantic
Cast : Ilham, Bisma, Rangga, Dicky (SMASH) – Kinal, Melody,
Veranda, Ayana (JKT48)
Inspiring story by JKT48’s song
****
“Tuh orang emang gak punya
perasaan, ya. Gue gemes deh sama dia.” Geram Kinal melampiaskan kekesalannya
pada bantal dipangkuannya.
“Gak apa-apa, Nal. Ini emang
salah gue juga.” Tandas Veranda lesu.
“Trus loe mau dapet duit 6 juta
dari mana? Loe gak mungkin minta ke orang tua loe kan?” Veranda hanya memberi
anggukan lesu pada Kinal.
“Atau gue minta sama orang tua
gue aja buat minjemin loe, gimana?” usul Melody.
“Jangan, Mel. Nanti ortu loe
pasti nanya ke ortu gue juga. Trus masa gue jujur kalo gue udah nyelakain anak
orang.” Setelah Veranda berkata begitu, ketiganya seketika menghela napas lesu.
Hening untuk sekian detik.
“Ve, jangan putus asa gitu dong. Tiap
hari gue bakal sisihin uang jajan terus gue kasih ke elo, gak banyak-banyak
amat sih, tapi nanti kan makin lama makin banyak.” Merasa setuju dengan usul
Kinal, Melody juga berniat melakukan hal yang sama.
“Oww, kalian so sweet
banget, gue sampe pengen nangis deh.” Ucap Veranda seraya merangkul pundak
kedua sahabatnya itu.
“Kayak gini loe masih lebay aja.”
ledek Melody.
“Gue serius. Gue hargain banget
niat kalian.”
“Loe beneran nangis, Ve?” tanya
Kinal melihat Veranda tiba-tiba menunduk lagi lalu ia mengangkat dagu Veranda.
“Yaelahh, kenapa cemberut lagi?”
“Kira-kira bisa sampe berapa taun
ya uangnya bisa kekumpul? Bentar lagi kan kita lulus sekolah, gue gak mau berurusan
sama dia lagi.”
“Emm, itu sih urusan belakangan,
ntar kita pikirin lagi. Yang penting kan ada usaha buat nyicil.”
Veranda menoleh ke meja
belajarnya, melihat laptop yang tengah di charge itu. “Apa gue jual lepi
aja, ya? Kan lumayan.”
“Kalo itu mau loe, ya terserah.”
“Tapi gimana, ya? Gue udah sayang
banget sama tuh lepi, sayang data-datanya. Gue udah hapal banget sama adatnya.”
“Intinya? Loe jadi jual gak? Kalo
dijual juga gak nyampe 6jt.”
“Gak nyampe juga kan kita yang
nambahin ddikit-dikit. Iya kan, Ve?”
Sementara Kinal dan Melody
mengobrol dan menanyakan pendapat Veranda, ia malah masih memandangi laptopnya.
“Oke, loe gue jual. Harganya
harus lebih gede dari pas gue beli loe. Kalo loe udah dapet majikan baru,
jangan lupa sama gue, trus jangan ngehang-ngehang mulu, ya.” Ucap
Veranda sedih pada laptopnya, diikuti tatapan aneh plus sedih dari Kinal dan
Melody.
“Ck.. Ck.. Ck.. Ve yang malang.”
“Mel, gue baru tau kelakuan orang
yang kelilit utang itu kek gimana.”
Melody mengangguk. “Iya, kasian..”
**
“Tadi dia ngomongin apa aja?” tanya Bisma,
matanya masih mengikuti layar televisi sementara tangannya sibuk memainkan stik
PS.
“Ya gitu deh, dia Cuma minta
maaf. Trus gue bilang aja dia harus bayar biaya rumah sakitnya.” Jawab Rangga sembari
melakukan hal yang sama dengan Bisma.
“Trus dia jawab apa?”
“Dia bakal bayar nyicil.” Ucap
Rangga.
“Parah lu.. itu kan mahal.”
“Biarin aja, gue yakin orang
tuanya orang kaya, dia pasti bayar. Duitnya loe pake makan-makan, Ga. Bagi-bagi
gue juga.” Sambar Ilham yang tengah duduk di sofa sembari makan mie instan.
Rangga hanya tertawa, ia setuju. Sementara Bisma yang memainkan PS duduk
memunggungi Ilham seketika berbalik untuk menjitak kepala Ilham.
“Apa sih, Bis? Mie gue hampir
tumpah nih.” Protes Ilham.
“Apa loe gak berlebihan, Ga?”
“Gue bilang dia anak orang kaya,
pasti bisa bayar.” Sekali lagi Bisma berbalik lalu menjitak kepala Ilham.
“Heh! Lama-lama pala gue empuk
gara-gara loe jitakin mulu.” Protesnya kesal.
“Kalo dia gak bayar juga gapapa, gue
becanda doang kali.” Ucap Rangga.
“Kelewatan loe.”
“Biarin. Abis dia serius banget.
Ekspresi mukanya, harusnya loe liat. Kasian campur lucu.” Ujar Rangga sembari
tertawa kecil, diikuti tertawa Ilham.
“Terus kenapa loe gak videoin?
Gue pengen liat.” Kata Ilham, tapi seketika ia menghentikan tawanya kala Bisma
menatapnya.
“Apa loe?” tanya Ilham sambil
bergeser dari duduknya menjauhi Bisma.
Tak ada yang membahas masalah
Rangga lagi, mereka fokus pada permainan mereka. Hanya suara efek games
yang mereka mainkan dan suara kegaduhan dari Ilham yang gemas pada permainan
Bisma dan Rangga.
“Heh, hape loe nyala tuh, Bis.” Ucap Ilham
saat tiba-tiba ponsel Bisma bergetar tanda panggilan masuk.
“Imel?” Ilham membaca nama kontak
yang tertera di layar ponsel Bisma, seketika Bisma menoleh dan menyabet ponsel
di atas meja dibelakangnya, lalu pergi menjauh.
Melihat Bisma pergi untuk
menerima telpon dan menaruh stik PSnya begitu saja, Ilham pun meloncat dari
sofa untuk mengambil alih permainan.
“Tadi siapa loe bilang tadi?
Imel?” tanya Rangga.
“Iya.” Jawab Ilham tanpa menoleh
ke Rangga.
“Anak mana dia?”
“Gue mana tau, tanya aja ke
Bisma.”
“Kali aja loe tau. Kan loe tau
mulu nama-nama cewek cantik di sekolah.” Kata Rangga. Ilham tidak menjawab dan
masih fokus pada permainannya. Sejujurnya dia memang tidak kenal dengan cewek
yang menghubungi Bisma itu.
“Apa dia jelek kali ya, sampe loe
gak tau gitu?” tanya Rangga.
“Ngomong mulu loe ah. Tuh liat,
loe hampir kalah sama gue.”
**
Sembari mendengarkan musik dari earphone-nya,
Kinal menuruni tangga menuju ruang makan untuk makan malam yang sudah disiapkan
Bi Inah.
“Wah.. Capcay daging.” Ucap Kinal
melihat masakan kesukaannya dimeja.
“Iya. Makan yang banyak ya, Non.”
Balas Bi Inah. Kinal hanya memberi anggukan sambil tersenyum.
“Bibi belum makan, kan?”
“Iya, Non.”
“Yaudah.” Tanpa disuruh, Bi Inah
duduk dihadapan Kinal dan makan bersama, begitu juga saat ada Veranda dan
Melody. Itulah kebiasaan yang Kinal terapkan, makan semeja dengan Bi Inah. Tapi
jika ada orang tua Kinal dirumah, Bi Inah tak berani makan semeja dengan
majikan mudanya itu.
Ditengah acara makan mereka,
terdengar suara mobil Mama Kinal memasuki pelataran halaman rumah.
“Saya permisi, Non.” Ucap Bi Inah
menyadari kehadiran Mama Kinal.
Mama Kinal menghampiri Kinal yang
tengah makan sebelum ia ke kamar. Tak ada sambutan istimewa dari Kinal, ia
tetap menyantap makanannya. Setelah duduk dihadapan Kinal, tanpa disuruh, Bi
Inah sudah menyiapkan teh hangat untuk majikannya itu.
“Tumben mama pulang cepet.” Ucap
Kinal.
“Iya, hari ini kerjaan mama
sedikit.” Jawab mama.
Tak berselang lama, suara mobil
papa juga terdengar memasuki pelataran rumah. Seperti mama, papa pun langsung
duduk dikursi meja makan setelah memasuki rumah.
“Gimana sekolah kamu hari ini?”
tanya papa sambil memijat-mijat lengannya sendiri.
“Ya gitu deh, kayak biasanya.”
Tanpa menoleh ke papanya, Kinal hanya menyantap makanannya dengan tenang.
“Tumben kamu nanya-nanya
aktifitas Kinal? Mulai perhatian?” tanya mama ketus.
“Jangan ngerusak suasana deh.
Emang salah kalo aku perhatian?”
“Aneh aja. kamu sibuk banget,
sampe gak pernah perhatiin Kinal.”
“Aku sih udah jelas sibuk kerja
emang buat Kinal juga. Lah kamu sendiri gimana?” sementara papa dan mamanya
berdebat dengan suara saling meninggi, Kinal sesekali melirik mereka. Ia
mendengus kesal menahan marah. Selalu begitu dan tak pernah akur, ada saja
bahan yang mereka debatkan tiap kali ada dirumah.
Tak tahan mendengar pertengkaran
orang tuanya, Kinal menaruh sendoknya kasar ke piring lalu beranjak dari
duduknya. Ia hendak berjalan kekamarnya.
“Tuh liat, gara-gara kamu Kinal
jadi kaya gitu.”
“Bukannya kamu ya yang mulai?”
sembari berjalan menaiki anak tangga, Kinal menutup kedua telinga dengan
tangannya. Matanya pun tak kuasa menahan airmata yang terus berjatuhan.
**
Seusai makan malam bersama
keluarga, Melody duduk di meja belajarnya, membuka halaman demi halaman buku
diatas meja bermaksud untuk mengerjakan PR. Ia berdecak sebal saat buku yang
dibutuhkan tak ada disana. Melody mengacak-ngacak laci mejanya berharap menemukan
bukunya. Saat hendak mencari buku, terselip sebuah amplop ukuran sedang
berwarna merah muda, ia lalu meraih amplop itu. Dibukanya amplop itu untuk ia
baca.
Melody hanya senyum-senyum sendiri
kala membaca kalimat perkalimat yang tertulis dikertas, selalu begitu. Tak berani
mengatakan secara langsung dan agar lebih berbeda katanya, Bisma hanya bisa
menulis perasaannya dalam sepucuk surat untuk diberikan pada Melody satu tahun
lalu. Ia tak menyangka hubungan yang dijalani sembunyi-sembunyi itu bisa
bertahan sampai saat ini.
Ekspresi semyumnya berubah kala
mengingat prinsip yang dibangunnya bersama Veranda dan Kinal untuk tidak
pacaran sebelum lulus sekolah. Ia sadar telah melanggar prinsip itu, dengan
rasa bersalah makanya dia dan Bisma hanya bisa menyembunyikan hubungan mereka.
“Tok..tok.. tok..” Melody
menoleh kearah pintu saat Mama mengetuknya.
“Mel, didepan ada Kinal tuh.”
Ucap Mama setelah membuka pintu.
“Ha? Malem-malem gini?” tanya
Melody memastikan.
“Iya, dia mau nginep katanya. Ya
udah Mama bolehin aja, gak apa-apa kan?” Melody hanya memberi anggukkan pada
Mamanya, ia tak heran jika Kinal kadang-kadang ingin menginap.
“Hay, Mel.” Sapa Kinal sembari
memasuki kamar Melody, Melody hanya membalasnya dengan senyuman.
“Loe lagi ngapain?” Kinal duduk
ditepi ranjang Melody lalu menaruh tas selempangnya.
“Ini nih, PR tadi. Besok kan
dikumpulin, loe udah ngerjain belom?”
“Iya, tapi dikit lagi beres.”
Jawab Kinal, ia mengeluarkan buku yang sama seperti Melody dari dalam tasnya.
“Eh, kalo mau nginep, biasanya
dari sore loe udah disini. Sekarang malah dadakan gini.”
“Sorry deh. Gue juga tadinya
gak ada niat nginep. Gue lagi gak betah dirumah.”
“Emm..” Melody menggigit bibir
bawahnya, ia ingin bertanya tapi ragu-ragu. “Ortu loe, ya?” Kinal hanya
menjawab dengan anggukan lesu.
Tiba-tiba matanya menangkap
amplop yang terselip disalah satu buku Melody diatas meja.
“Eh, ini apaan, Mel? Imut banget
warnanya pink. Jangan-jangan dari penggemar loe ya? Loe punya penggemar rahasia
ya?” tanpa menunggu jawaban Melody, Kinal meraih amplop dimeja. Dengan cepat,
Melody merebut amplop ditangan Kinal.
“I-ini bukan apa-apaan. Gue iseng
aja, bukan dari penggemar rahasia juga.”
“Masa sih? Dari penggemar rahasia
juga gak apa-apa kok, asal loe cerita-cerita aja.” Goda Kinal. Sambil tersenyum
hambar, dalam hatinya Melody merutuk, bagaimana ia bisa cerita sedangkan Kinal
membenci Bisma dan teman-temannya, yang
ada kalau ia cerita Kinal akan marah.
“Apaan sih loe? Eh, loe pasti
cape kan perjalanan loe lumayan jauh, gue bikinin teh anget ya. Nanti kita
cerita-cerita lagi.” Ucap Melody berusaha mengalihkan pembicaraan.
***
Matahari dari ufuk timur seolah
begitu cepat muncul saat Kinal baru tiba di rumah besarnya setelah ia pergi
dari rumah Melody saat Melody masih terlelap. Ia bergegas berangkat kesekolah
seusai berganti seragam. Di halte sambil sesekali melihat jam berwarna hijau
yang melingkar ditangan kirinya, ia menunggu bis yang tak kunjung melintas.
Pandangan Kinal pun beralih ke ikatan tali sepatunya yang terlepas, ia
membungkuk untuk memperbaikinya.
Tanpa disadari, bis yang ditunggu
pun melintas tanpa berhenti, sontak saja Kinal panik dan berlari mengejar
bisnya. Ia berteriak minta bis berhenti, ternyata teriakkan Kinal didengar oleh
salah satu penumpang yang dikenalnya.
Kinal yang berlari kencang itu
seketika memperlambat lajunya saat Bisma membuka pintu bis dan nongol dari
sana.
“Buruan pegang tangan gue!”
teriak Bisma sambil mengulurkan tangannya, ia juga terdngar berteriak pada
supir agar menghentikan bis. Kinal yang tak suka pada Bisma pun hanya
mengacuhkan tawaran Bisma dan tetap berlari sambil berteriak-teriak.
“Ck! Bisnya gak bakal stop,
jadi loe pegang tangan gue!” Merasa sudah lelah, mau tak mau Kinalpun mengikuti
kata Bisma. Berlari sekuat yang ia bisa, Kinal bisa meraih tangan Bisma, dan
Bisma menarik Kinal kedalam bis.
Dengan napas ngos-ngosan, Kinal
hanya menatap Bisma sekilas tanpa mengucapkan satu katapun. Pandangannya
menyapu ke kursi penumpang, tak ada kursi kosong disana, yang ada bebrapa orang
yang berdiri. Tak ada pilihan, Kinal berdiri sedikit menjauh dari Bisma sambil
menggenggam gantungan pengait bis.
Suasana bis didalam begitu sepi,
hanya suara-suara kendaraan lalu dijalanan yang terdengar. Tiba-tiba supir bis
menghentikan bisnya. Kinal yang berdiri dibelakang Bisma seketika terdorong dan
tak sengaja memeluk pinggang Bisma. Belum sadar dengan orang yang menjadi
sandarannya, Kinal mengamati tangannya yang melingkar dipinggang seseorang.
Pandangannya naik ke punggung dan bermuara pada wajah laki-laki yang juga
mengamati Kinal.
“Ha! Astagfirullah!” gumam Kinal
melepas pegangannya. Ia kembali berdiri tegak sambil berpegangan pada pengait
yang bergelantung diatasnya sambil berusaha menyembunyikan rasa malunya.
“Kenapa loe gak gerak pas gak
sengaja gue peluk? Kesempatan loe.”
“Kesempatan apaan? Tangan gue
juga loe peluk, gimana gue mau gerak.” Tandas Bisma.
“Halah, alesan.”
“Loe kira gue mau dipeluk sama
loe? Kalo gue bisa gerak, loe udah jatoh. Harusnya loe bilang makasih sama
gue.” Kinal hanya memalingkan mukanya.
Kinal berlari agar sedikit
menjauh dari Bisma setelah turun dari bis. Semakin lama ia memperlambat
lajunya, tiba-tiba jantungnya berdegup kencang. Perlahan seraut senyuman menghiasi
wajah manisnya.
“Kinal.. Kinal.. Buruan sini!”
Teriak Veranda dari balik gerbang sekolah, seketika Kinal berlari menghampiri
Veranda dan Melody.
“Apaan? Kenapa, Ve?” tanya Kinal
ikut cemas.
“Gak apa-apa sih, panas aja
disini.” Mendengar jawaban datar Veranda itu Kinal hanya memberikan cubitan
gemas dipipi Veranda.
“Sorry deh, kalian nunggu
lama.”
“Gak apa-apa. Tapi kalo loe
balik, bilang dulu dong. Gue kan nyariin loe tau.” Ucap Melody.
“Iya sorry, sorry. Gue
buru-buru sih, abisnya gak bawa seragam.”
“Gue tau, kan loe tulis didinding
memo gue.” Kinal hanya nyengir sambil mengangkat jari tengah dan telunjuknya.
Pandangan Kinal beralih saat
Bisma berjalan memasuki gerbang, tanpa sadar ia sedikit menarik kedua sudut
bibirnya. Mengingat kejadian yang ia alami di bis.
“Loe kenapa senyum-senyum gitu,
Nal?” tanya Veranda keheranan.
“He? Gue senyum-senyum?” Kinal
balik bertanya lalu berusaha seperti biasa.
“Iya.”
“Kinal kepanasan kali, mukanya
aja sampe merah gitu. Yuk masuk.” Mendengar perkataan Melody, seketika Kinal
memegang pipinya.
Merah? Apa gara-gara mikirin
Bisma? Oh, No...
Mudah-mudahan emang gara-gara
kepanasan.. batin Kinal.
bersambung.............
Preview part4
“Pokoknya kalo ada sms atau telpon
dari siapapun, jangan loe apa-apain.” Veranda memperingatkan.
“Oh, loe takut kalo ada telpon dari
pacar loe ya?”
“Gak usah sok tau deh. Gue gak punya
pacar.”
“Aku takut... kamu nunggunya
kelamaan..” jawabnya sembari ngos-ngosan. Bisma tersenyum sembari mendorong
Melody untuk duduk.
“Emang kamu ngapain dulu? Milih-milih
baju ato dandan dulu?” tebak Bisma membuat Melody menyikut perut Bisma. Lalu ia
mengeluarkan sebuah bukku dari tasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar