Jumat, 08 Agustus 2014

(Cerbung SMASH & JKT48) Di Ujung Pelangi - Part3



Judul : Di Ujung Pelangi - Part3

Genre : romantic - family

Cast : Rangga Moela, Jessica Veranda, Pramudina, Dicky Prasetya, Reza Anugrah, Bisma Karisma, Shania Junianatha, Sonya Pandarmawan.

Author : Fauziya Fitri


*********




Tergambar dengan jelas dirinya yang sedang berpose sambil memeluk boneka tedy bearnya yang berukuran besar bersama kakak laki lakinya, Rafael, diapit oleh papa dan mamanya. Senyuman begitu mengembang di bibir keluarga kecil itu.

Ve jadi teringat kejadian 5 tahun lalu dimana kedua orang tuanya duduk di kursi pengadilan dan ketukan palu hakim pun memisahkan mereka, hak asuh Ve dan Rafa jatuh pada mamanya. Ve dan Rafa tak pernah tau apa masalah orang tuanya itu sehingga memutuskan untuk berpisah, padahal saat itu Rafa sedang terbaring di rumah sakit. Seminggu setelah perceraian orang tuanya, Rafa menyerah pada penyakit yang di deritanya.

Ve tak pernah lupa dengan kejadian kelam itu, bahkan sampai saat ini ia merindukan pelukan dan perhatian dari mamanya yang sekarang selalu mengurus bisnis ke luar negri bersama kolega-koleganya.

"Ma, Ve kangen mama. Ve kangen papa dan Kak Rafa juga. Ve kangen kalian." lirih Ve memeluk foto berbingkai itu sambil menangis. Perlahan ia pun tertidur tanpa mengganti seifukunya.

~

"Bi, sudah ada telpon dari mama?" tanya Ve sembari melahap selembar roti yang disediakan pembantunya di meja makan.



"Belum, non. Mungkin nanti malam atau besok." jawab Bi Sarni, Ve hanya berdecak sebal. Selalu saja begitu. Ia berharap setelah berhari hari tak menelpon, mamanya lantas memberi kejutan padanya dengan pulang ke rumah tanpa kembali lagi kedalam urusan bisnisnya. Tapi Ve menyadari itu, tak mungkin mamanya melakukan itu.

Ve menarik napas berat, beranjak dari duduknya, malas untuk melanjutkan makan lalu pergi ke sekolah tanpa di antar supir karena supirnya sedang pulang kampung.

Ve berjalan dengan malas di sepanjang koridor sekolah, sapaan teman-temannya pun tak ia hiraukan.

Saat di kelas dan memulai pelajaran, Ve tak melihat sosok Dina disana, bangkunya kosong. Saat Bu Herlina mengabsen murid-muridnya juga tak terlontar dari mulutnya menyebut nama Dina. Apa sekarang ia benar-benar pindah sekolah?
Apakah sekarang ia benar-benar pindah sekolah? Kalau iya, tak ada lagi orang sepasrah Dina yang bisa di ejek, batin Ve.

"Dick, cewe kampung itu kemana? Kenapa gak ada?" tanya Ve pada Dicky yang tengah membaca buku dibangkunya saat setelah jam pelajaran usai.

"Kenapa? Kamu kangen sama Dina?" Dicky balik bertanya tanpa melihat wajah Ve, Ve hanya menggeleng kepala seraya menyunggingkan sebelah sudut bibirnya.

"Aku serius. Kamu jawab saja, dia kemana?" tegas Ve.

"Dina sedang sakit. Tadi pagi sebelum bel, kakaknya datang mengantarkan surat pernyataan sakit, puas?"

"Oh, aku kira dia sudah pindah, ternyata cuma sakit." ucap Ve sambil mengibaskan poni miringnya lalu pergi meninggalkan Dicky. Dicky hanya menggeleng kepala melihat kepergian Ve, kapan Ve akan berubah dan menyadari kalau perlakuannya selama ini tak baik?

Hari ini di sekolah, jam terasa sangat lama berputar, di tambah lagi ia benar-bebar harus pulang sendirian, sementara Shania dan Sonya mempunyai urusan masing masing.

Sesampai di parkiran, Ve merogoh tasnya terlebih dahulu mencari kunci mobilnya. Tak seperti biasa, halaman parkiran terasa sepi, terlebih ia merasa ada orang yang memperhatikannya. Ve celingak celinguk mengamati area sekolah, ia pun mempercepat pencarian kunci ditasnya tak kunjung ia temukan.

Tanpa di ketahui, dibelakangnya ada 2 orang pria tak di kenal mengendap ngendap mendekati Ve. Orang itu tibatiba mendekap tubuh Ve dan membekap mulutnya dengan sapu tangan. Tak banyak yang bisa dilakukan selain meronta ronta, namun karena tangannya di dekap kuat dan mulutnya di bekap, perlahan tubuhnya melemas lalu tak sadarkan diri.

Merasa keadaan sekolah sudah aman, mereka pun membawa tubuh Ve kedalam mobil yang disambut oleh kawanannya. Tas di tangan Ve terjatuh di parkiran. Dengan segera, mobil itu melesat membawa Ve.

****

Sedari tadi wanita paruh baya ini hanya mondar mandir di teras depan rumah tengah menunggu Ve yang belum kunjung pulang sekolah, padahal saat ini sudah sore, ia takut terjadi sesuatu pada majikan mudanya itu.

"Bi sumi, ngapain dari tadi mondar mandir aja?" tany Titin, rekan sesama pembantu.

"Kamu gak lihat sekarang sudah sore? Non Ve belum pulang." jawab Bi Sumi.

"Mungkin lagi jalan sama teman-temannya." ucap Titin.

"Aku pikir juga begitu, tapi gak tau kenapa perasaanku gak enak,Tin."

"Ya sudah kita telpon hpnya aja." Titin menyarankan, Bi Sumi pun menurut. Ia menghubungi ponsel Ve, tapi ponselnya tidak aktif, membuat Bi Sumi resah.

"Mungkin Non Ve sedang gak mau di ganggu. begini, kalau waktu makan malam Non Ve gak pulang juga, kita hubungi teman-temannya ya, bi."

Karena waktu makan malam tiba dan Ve belum pulang sementara makanan sudah disiapkan, akhirnya Bi Sumi memutuskan untuk menelpon Sonya. Hasilnya? Nihil! Ve sedang tak bersama Sonya karena Sonya pun sedang ada acara keluarga.

Bi sumi pun berlanjut menghubungi Shania. beberapa lama menunggu, akhirnya teleponnya di jawab namun bukan Shania melainkan oleh mamanya dan mengatakan kalau Shania sedang mandi dan pasti masih lama. saat itu pun Bi Sumi semakin resah, takut jika terjadi sesuatu pada Ve.

**

Perlahan Ve sadarkan diri, berusaha membuka kelopak matanya namun terasa berat karena penutup mata mengikat kepalanya. Ve yang terduduk di bangku berusaha berontak karena kaki dan tangannya diikat serta bibirnya yang bekap lakban.
Suara berisik dari hentakkan kaki Ve membuat seseorang membuka penutup matanya.

"Akhirnya kamu sadar juga." ucap seorang pria yang tak dikenalnya. Ve mengedip-ngedipkan matanya, menjernihkan pandangannya lalu melihat seisi ruangan itu, seperti sebuah gudang yang tak terawat.

"Aku dimana? Siapa kalian? Kalian mau apa dariku?" seruntun pertanyaan keluar dari mulut Ve setelah seseorang melepas lakban yang menepel dibibirnya.

"Tenang, anak manis. Kami tak akan melukaimu jika kamu menuruti permintaan kami." ucap seorang pria sambil memegang dagu Ve lalu menghempaskannya kasar. Ve menggeleng kepala, hanya ketakutan yang dirasakannya.

"Veranda Tanubrata.. Seorang anak dari keluarga Tanubrata." ucap santai seorang pria sambil mengelus ngelus dagunya dengan jari telunjuknya. Batin Ve bertanya tanya, kenapa pria itu bisa tau nama keluarganya.

"Sebaiknya kamu makan, dari tadi siang kamu belum makan, kan?" tanya pria itu sambil menyodorkan sepiring nasi dengan lauk pauk seadanya.

"Aku gak mau.. Lepasin aku.. Aku mau pulang.." Ve berontak sambil berteriak teriak.

"Diaaamm." bentak si pria tak kalah kencang dari suara Ve.

"Aku gak mau.. lepasin aku, lepasin.. Aku mau pulang.."

PLAAKK..

Sebuah tamparan mendarat ke pipi mulus Ve, seketika ia terdiam dan mulai meneteskan bulir bening dari pelupuk matanya.

"Aku bilang diam!" kata pria yang sudah menampar pipi Ve.

"Boy, kamu tenang, jangan sakiti dia. Kalau dia terluka belum tentu kita bisa dapat uang dari orang tuanya." ucap pria bernama Erik menenangkan temannya yang bernama Boy.

Ve masih terisak mengingat perlakuan Boy dan merasakan sakit di pipinya. Sekarang ia mengerti, orang2 ini ternyata menginginkan sejumlah uang dari keluarganya.

"Euh, aku pusing dengannya. Kamu saja yang urus dia." ucap Boy kesal sambil meninggalkan temannya itu bersama Ve.

"Aku janji tak akan menyakitimu asal kamu menurut. Sekarang kamu makan ini." ucap Erik pada Ve yang masih terisak.

Dengan berat hati, Ve pun menuruti perintah Erik. Ia memakan makanan yang disediakan dengan disuapi Erik karena tangannya diikat.

"Sekarang kamu tidur, ini sudah malam." seru Erik setelah selesai menyuapi makanan dan minuman pada Ve.

"Aku mau ke toilet dulu." tukas Ve.

"Baiklah, tapi tetap kamu akan ku awasi." Erik membuka ikatan tangan dan kaki Ve, tapi ia tetap mencengkram tangan Ve kuat kuat agar tak kabur.

Ve masuk ke dalam toilet dan pastinya Erik menjaga pintu toilet itu.
Bukannya buang air, Ve malah berfikir bagaimana caranya untuk keluar dari tempat itu. Disana terdapat jendela kecil didinding dengan kaca bening namun tebal, kalau pun Ve menghancurkan kaca itu, badannya tak akan muat jika masuk lewat sana.

Dia terus berfikir keras mengamati setiap ruang kecil itu, saat mendongak keatas, matanya tertuju pada sebuah cahaya malam yang terang oleh bulan.

Jendela yang kemungkinan dapat di buka namun jaraknya sangat tinggi.

Ve pun naik ke bak berisi air, ia berusaha menjangkau salah satu kayu yang menompang atap tersebut. namun tangannya tak cukup sampai untuk menggapainya. karena ubin bak yang basah terkena air, naas Ve terpeleset dan jatuh.

Suara tubuh Ve yang jatuh dan jeritannya yang keras membuat Erik mendobrak pintu toilet itu untuk memastikan Ve. Erik melihat Ve sudah terduduk di lantai sambil meringis kesakitan.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar