Sabtu, 09 Agustus 2014

(Cerbung SMASH & JKT48) - Di Ujung Pelangi - Part4





judul : Di Ujung Pelangi

genre : romantic - family

cast : Rangga Moela, Jessica Veranda, Pramudina, Dicky Prasetya, Bisma Karisma, Reza Anugrah, Shania Junianatha, Sonya Pandarmawan.

author : Fauziya Fitri


*****




"Apa yang terjadi?" tanya Erik sambil membantu Ve berdiri, Ve hanya menangis dan terus mengelus-ngelus  tubuh bagian belakangnya. Erik membopong tubuh lemah Ve menuju kursi semula.

"Kamu kenapa bisa sampai jatuh begitu?" tanya Erik, Ve tak menjawab, ia terus menangis menahan sakit di tubuhnya. Tak mungkin ia mengatakan kalau akan mencoba kabur, bisa bisa ia di hajar oleh penjahat-penjahat itu.
 
"Ya sudah, hentikan tangismu. kamu akan ku ikat kembali." Ve hanya diam pasrah tangan dan kakinya diikat lagi sambil merasakan sakit, untung saja bak yang ia pijak tak terlalu tinggi.

***



Hiruk pikuk keramaian kendaraan yang melintas menjadi awal pagi hari di ibukota. Mengawali aktifitas SMA Perjuangan, termasuk salah satu siswinya, Shania. Ia turun dari mobil yang di kemudikan oleh ayahnya yang hendak pegi ke kantor.



Shania berjalan santai menuju halaman sekolah, ia menoleh ke parkiran, melihat mobil yang dikendarai Ve kemarin sudah terparkir sempurna berdampingan dengan mobil lain, posisinya persis seperti kemarin.



Saat memasuki kelas, Shania tak menemukan Ve, tasnya pun tak kelihatan dibangkunya.



"Eh, kamu lihat Ve gak?" tanya Shania pada teman sekelasnya.


"Enggak tuh, dia belum datang." Shania hanya mengeryitkan alisnya, padahal ia melihat mobil Ve terparkir di halaman. Karena penasaran, Shania pun keluar untuk mencari sahabatnya itu.



"Nya, kamu lihat Ve?" tanya Shania saat berpapasan dengan Sonya di lorong sekolah.


"Loh? Aku baru datang, aku kira Ve sudah datang, soalnya aku lihat mobilnya."


"Aku juga mikir kayak gitu, tapi dia gak ada. Ayo kita cari dia." ucap Shania menarik tangan Sonya ke parkiran.



Sesampai di parkiran, Shania langsung mengintip kaca mobil Ve di pintu kiri. Meskipun kaca mobilnya gelap, ia sudah bisa menerawang kalau di dalam tak ada siapa-siapa, pintunya juga terkunci.

Sementara Sonya, saat berjalan ke pintu kanan, tak sengaja ia menginjak sesuatu. Ya, tas selempang warna biru milik Ve, ia membungkukkan badan lalu menyabet tas yang tergeletak di tanah itu.

"Shanju.. Lihat ini." Shania pun menghampiri Sonya yang tengah menunjukkan tas di tangannya.

"Ini kan? Tapi Ve kemana?"

"Apa jangan jangan.." ucap Sonya dan Shania berbarengan namun tak melanjutkan kata-katanya, ada hal yang sama difikiran mereka.

Bingung harus melakukan apa, mereka pun segera berjalan menuju kantor BP dan menceritakan kesimpulan yang mereka ambil, yaitu Ve diculik.

*

Sementara di tempat lain, pagi yang seharusnya terang, tak terasa di ruangan Ve berada. Sangat pengap.

"Kamu sudah bangun? Makanlah ini." seru Erik yang membuka pintu sambil membawa makanan dan minuman seperti kemarin.

Erik membuka lakban di bibir Ve lalu menyuapinya nasi secara berulang. Tapi meski begitu, ia tak merasakan makanan yang dikunyah masuk kedalam perutnya.

Tak lama, Boy dan satu kawanannya datang setelah Ve selesai makan. Dia menyuruh Ve untuk menyebutkan nomor telpon rumah atau orang tuanya.

"Aku gak hafal." tegas Ve.

"Jangan bohong, cepat beritahu!" ucap Boy sambil mengapit pipi Ve dengan tangannya lalu menghempaskannya kasar.

"Ayo katakan saja, setelah kami dapat uang dari orang tuamu, kamu akan kami lepaskan." kata kawanan satu lagi.

"Aku gak hafal." bentak Ve.

PLAKK.. Lagi lagi Boy mendaratkan tamparan ke pipi Ve.

"Sudah ku bilang jangan bohong! Kamu berani membentakku, ha?" bentak Boy di depan wajah Ve.

"Boy, kamu sabar dulu, jangan lukai dia. Kalau benar2 tak bisa dibujuk, kita beri dia pelajaran." ucap Erik.

"Ya sudah, kita tinggalkan saja dia." ujar Boy, lalu kawanan penculik itu pergi meninggalkan Ve sendirian. Ve hanya menangis disana, mencoba berontak namun tali yang terikat sangat kuat.

Matanya berusaha mencari benda yang bisa membuatnya membuka pengikat tangannya. Besi yang sepertinya cukup tajam untuk membuka tali pengikatnya pun jadi sasaran. Ia terus menggeserkan kursi dan tubuhnya menuju besi itu dan berhasil.

Ia terus menggesek-gesekkan besi itu ke tali di tangannya yang posisinya di belakang tubuhnya. Setelah beberapa lama, ia mampu memutuskan tali ditangannya dilanjutkan membuka tali yang ada di kakinya.

Nekat, ia mengendap-ngendap keluar lewat pintu lain, berhasil melihat cahaya luar. Namun usahanya sia-sia, Ve ditangkap kembali. Kini ikatan talinya lebih erat sampai terasa sakit ke urat tangannya yang halus.

Lagi, pipi mulusnya tak luput dari tamparan keras oleh penjahat itu.

"Kamu mau coba coba kabur, ya? Ha?" bentak Boy di depan wajah Ve, Ve hanya menangis.

Karena kesal, Boy mendorong kursi yang menjadi dudukan Ve hingga Ve tergolek. Pelipisnya berdarah mengenai kayu tumpul sehingga membuatnya tak sadarkan diri.


Setelah beberapa lama pingsan, Ve akhirnya terbangun, ia sudah terduduk tegap dengan lakban yang menempel di bibirnya, sambil merasakan sakit dikepalanya.

"Ma, Ve kangen mama. Tolongin Ve, ma.. Kak Rafa, tolong Ve.. Ve takut, Ve ingin pulang.. Badan Ve sakit semua, ma. Tolong.." ucapnya dalam hati sambil terisak. Tak ada yang bisa ia lakukan selain berdo'a, dan menangis.


Tapi ia tak gentar, Ve terus menggerakkan tangannya yang di ikat di belakang tubuhnya, berusaha melonggarkan ikatannya.


Beberapa lama berkutat dengan tali, ikatan itu pun semakin longgar dan perlahan terlepas. Ia membuka ikatan kakinya juga lalu mengendap-ngendap keluar setelah melihat penjahat-penjahat itu sudah terlelap, berjalan sangat hati hati. Ve segera berlari secepat yang ia bisa, berhasil menembus jalan raya yang terang oleh lampu lampu jalan dan kendaraan yang melintas.


Tak dipungkiri tubuhnya lemah karena kekurangan makan, Ve bersandar di tiang listrik dan perlahan duduk di tanah, sambil mengatur napasnya dan merasakan dinginnya malam itu.


Ve menyapu pandangannya, seketika mata sembabnya membola kala melihat 3 orang pria memakai jaket kulit sedang berlari sambil celingak celinguk, Ve tahu mereka pasti sedang mencarinya. Tanpa buang waktu, Ve beranjak dari duduknya lalu berlari dan mencari tempat yang aman.


Merasa lelah dan napas hampir habis, Ve duduk menyender di depan pagar besi sebuah kantor ruko.


"Kamu ngapain disini, dek?" tanya seorang penjaga ruko mengagetkan Ve.


"Pak, tolong saya. Saya mau pinjam telponnya, boleh?" ujar Ve pada laki-laki separuh baya namun belum terlalu tua itu.


"Tapi gedung ini sudah tutup, dek."


"Saya mohon, pak. Tolong saya. Saya bingung harus minta bantuan pada siapa." ucap Ve sambil memelas, penjaga itu pun mengizinkan Ve masuk untuk memakai telponnya.


Ve menekan beberapa digit tombol telpon untuk disambungkan ke rumahnya, namun tak ada yang menjawab. Mungkin mereka semua sudah tidur, tapi mungkinkah semua pembantunya tak mencemaskannya setelah beberapa hari menghilang?


Ve beralih menelpon ponsel mamanya. Tak perlu menunggu lama, mamanya menjawab.

"Hallo, mama. Ini Ve."


"Sayang, mama masih di luar negri. Mama sedang sibuk sekarang, telponnya lain kali saja, ya." Ve hanya menangis, ia belum berkata apa apa dan mamanya sudah memutuskan telpon. Apa mamanya tak tahu keadaannya sekarang? Apa pembantunya di rumah tak memberitahu kalau dirinya menghilang? Pikirnya.


Ve menghapus airmatanya kasar lalu mulai menelpon polisi.


Sedang Ve menekan tombol telpon, tibatiba seseorang memeluknya dari belakang, ia menoleh. Ternyata penjaga gedung ini. Ia segera melepas pelukan pria itu.


"Kamu mau kemana, sayang? Ayo temani aku." ujar penjaga ruko yang ia anggap baik itu ternyata berniat jahat juga padanya.


"Enggaaakk." Ve berusaha keluar dari gedung itu, lalu berlari meninggal gedung itu.


Ia terus menangis dalam langkah cepatnya itu. Kenapa tak ada yang tulus ingin membantunya? Pikirannya kalut, ia berpikir kalau ini adalah karma untuknya karena selalu semena-mena pada orang lain.


Setelah lelah berlari, ia duduk di bawah pohon besar, sepertinya ini taman kota. Mengatur napasnya yang tersengal-sengal.

"Hey." tibatiba seseorang menyentuh pundak Ve, yang membuat Ve histeris sampai terduduk ditanah.


"Tolong jangan sakiti aku lagi. Tolong lepaskan aku." ucap Ve yang masih histeris.


"Hey, tenang. Aku tak akan menyakitimu, kamu kenapa?" pemuda itu mengguncang-guncangkan pundak Ve yang tengah histeris.


Ve mendongakkan kepala setelah mendengar suara pemuda itu, seperti tak asing. Ternyata dia pelayan cafe yang pernah ia ejek, yaitu Rangga.



"Kamu?" Ve mulai berhenti histeris.
"Iya, ini aku. Kamu kenapa?" tanya Rangga. tanpa banyak bicara, Ve langsung memeluk tubuh Rangga.

"Tolong aku, tolong.. Aku takut." ucap Ve, suaranya terdengar parau di dada Rangga.

"Iya, sekarang kita duduk disini." Rangga menyuruh Ve duduk di bangku panjang bersamanya. Namun Ve tak berhenti melingkarkan tangannya ke tubuh tegap Rangga, begitu erat dan hanya merasakan tubuh Ve yang bergetar hebat.
Sekian detik, Ve tersadar bahwa orang yang ia peluk adalah orang yang pernah ia sakiti, lalu melepaskannya.
"Apa kamu dendam padaku?" Ve benar2 takut jika Rangga dendam padanya dan ingin berbuat jahat juga padanya.
"Soal apa?" Rangga balik bertanya.
"Perlakuanku yang tak enak padamu."
"Sudahlah lupakan.. Tak apa." ucap Rangga meskipun berat karena Ve membuatnya kehilangan pekerjaannya.
"Tapi aku tetap salah. Apapun yang kukatakan, maafkan aku." mata Ve mulai berkaca-kaca di hadapan Rangga.
"Hey, tunggu." seru Rangga yang sedari tadi tak sengaja memperhatikan luka-luka  yang terdapat di wajah Ve.
"Ini kenapa?" tanya Rangga penasaran. Seketika Ve menangis membayangkan insiden yang dialaminya.
"Makanya aku lari, aku takut disana." ucap Ve setelah menceritakan pengalaman pahitnya.
"Aku juga kedinginan." lanjut Ve masih terisak sambil menyilangkan tangan ke bahunya. Rangga hanya menatap Ve penuh iba dengan keadaannya sekarang. Ia melepas jaketnya dan memakaikan ke tubuh Ve.
"Eh, aku belum tau namamu."
"Panggil saja aku Ve." ucap Ve yang masih dengan suara bergetar.
"Aku Rangga." Rangga tersenyum.
"Aku ingin pulang.." lirih Ve.
"Kalau mau, kamu bisa ikut ke rumahku, besok pagi ku antar kamu pulang." ucap Rangga menyarankan, Ve hanya mengangguk kecil.
"Ohough.. Ohough.."
"Kamu kenapa?" tanya Rangga.
"Aku haus."
"Yasudah, aku mau beli minum. Tunggu, ya." Rangga pun pergi setelah menerima anggukkan dari Ve.
Sekembalinya mencari penjual air mineral di malam yang hampir larut, Rangga tak menemukan sosok Ve disana. Ia hanya melihat jaketnya yang tergeletak di tanah. Rangga pun panik dan memanggil-manggil nama Ve.



Tak perlu waktu lama Rangga sudah bisa mememukan Ve, ia tengah dibawa oleh 3 pria. Meskipun mulut Ve di tutup seorang pria tapi Rangga tahu maksud Ve yang ingin meminta pertolongan.
"Lepaskan dia." tegas Rangga.

"Kamu siapa berani ikut campur?"

Memberanikan diri, Rangga melawan 2 penculik. Perkelahian itu dimanfaatkan pria yang memegangi tubuh Ve untuk kabur. Belum sempat membawa Ve kabur, 4 orang pria berseragam gagah datang langsung meringkus penjahat2 itu.
Satu jam berada di kantor polisi untuk memberi kesaksian tentang pertemuannya dengan Ve. Kini Rangga mengajak Ve kerumahnya, rumah bergaya minimalis sederhana. Rangga mengetuk pintu rumah itu dan seorang gadis mengenakan piyama membuka pintu.
"Kakak kemana aja baru pulang? Dari tadi aku nunggu kakak sampai ketiduran~.." sambutan hangat sang gadis menggantung kala melihat Rangga bersama orang yang dikenalnya.
"Ve, kok kamu~..?" Dina tak melanjutkan kata-katanya. Ve hanya memandang Dina keheranan.




bersambung........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar